Kajian Tentang Agama Dengan Kebudayaan Dan Kerukunan Antar Umat Beragama
Oleh : Rizki Al Kharim
Rivewer : Suci Ramadani, dkk
Bab
I
Pendahuluan
·
Latar Belakang Masalah
Agama
dan kebudayaan memiliki relasi yang cukup kuat terutama dalam kehidupan
masyarakat di Indonesia yang cenderung menjunjung tinggi kebudayaan yang ada di
daerahnya masing-masing, dan telah menjadi ciri khas dan identitas dari
masing-masing masyarakat di daerahnya masing-masing. Maka dari itu setiap tokoh
agama memiliki kecenderungan untuk mempelajari kebudayaan masyarakat tiap
daerah, agar mempermudah mereka untuk menyebarkan maupun mengajarkan agama
kepada masyarakat tersebut. Dan pada akhirnya, mayoritas masyarakat dapat
menerima dengan tangan terbuka segala bentuk ajaran agama yang sesuai dengan
keyakinan mereka masing-masing yang kemudian juga diajarkan melalui kebudayaan
mereka agar dengan mudah dapat mereka pahami.
Dengan
adanya bentuk relasi kebudayaan dan agama tersebut, maka berkembanglah sebuah
realitas hubungan antar agama yang berkembang di Indonesia. Karena Indonesia
merupakan Negara pluralitas, yang memiliki berbagai macam suku dan juga agama,
sehingga diperlukan kiat-kiat khusus agar masyarakat Indonesia tidak mudah
terpecah-belah hanya karena masalah pluralitas tersebut.
Indonesia
memiliki enam macam agama dan keyakinan yang para penganutnya juga tersebar
hampir merata di seluruh Indonesia. Tugas kita saat ini adalah bagaimana
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini di tengah perbedaan yang
sewaktu-waktu bisa menimbulkan konflik jika tidak ditangani dengan baik.
Dalam
hal ini, sumber hukum toleransi kerukunan masyarakat Indonesia yang ber Bhinneka Tunggal Ika mempunyai dasar
hukum yang kuat yaitu: Pancasila, UUD 1945, dan TAP MPR No. IV/ MPR / 1999
bidang agama yaitu: Meningkatkan dan memantapkan kerukunan antar umat beragama,
saling menghormati dalam semangat kemajemukan berusaha untuk meningkatkan
kemudahan dalam meningkatkan ibadah agama, konsep ini merupakan suatu pengakuan
dan jaminan atas kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan menjalankan
ibadah, serta mengandung makna sifat untuk saling hormat menghormati antara
sesama umat beragama dalam masyarakat yang diarahkan ke dalam nilai-nilai yang
benar, adil, baik, dan penuh persaudaraan.
·
Perumusan Masalah
Dalam
makalah ini, terdapat beberapa rumusan masalah
1. Mengapa
pluralisme di Indonesia tidak membuat persatuan dan kesatuan di Indonesia menjadi
lemah?
2. Bagaimana
cara mengelola masyarakat multikultural, agar tidak terjadi perpecahan di
kemudian hari?
Bab
II
Pembahasan
Kajian
Agama dan Kebudayaan dan juga Realitas Hubungan Antar Umat Beragama di
Indonesia
Orang
yang taat beragama adalah orang yang berprilaku sesuai sistem budaya dan
komitmen terhadap ajaran agama yang dianutnya sesuai taraf pengetahuan yang
sederhana, masyarakat “primitif” misalnya harus memuja benda-benda alam dan
memberikan persembaha sesuai hasil pemikirannya. Jadi dalam hal ini tetap ada
sistem knowledge pada diri manusia untuk melakukan tindakan keagamaan. Di satu
sisi agama berdasarkan sejarahnya merupakan masalah sosial, karena menyangkut
kehidupan manusia yang tidak bisa terlepas dari kajian-kajian sosial. Dalam
konteks-konteks inilah Emile Durkeheim menggambarkan bahwa agama merupakan
sumber aspirasi manusia yang paling dalam,sumber semua kebudayaan yang sangat
tinggi, agama menunjukkan seperangkat aktifitas manusia dan sejumlah bentuk
sosial yang mempunyai arti penting.
Dalam
artikel klasikmya bejudul “Agama sebagai Sistem Budaya” Geertzmetakinkan bahwa
hakikat agama adalah sistem aggasan yang bersifat kognitif dan esensial bagi
kehidupan manusia. Geertz mendefinisikan agama dengan berbagai istilah sebagai fungsi
agama yang mengandung simbol-simbol pengetahuan, keyakinan, norma, dan
nilai-nilai social budaya itu. Sebabnya dalam konsep Geertz, agama juga
merupakan system symbol yang mengandung makna spiritual tang sacral. Geertz
mamandang bahwa tidak ada integrasi yang baik pada kebudayaan maupun tingkat
social, kecuali dengan pendekatan agama sebagai system budaya.
Untuk
menuju persamaan persepsi dalam kerukunan antar pemeluk agama yang berbeda,
maka kesadaran akan kebenaran agama yang dianut dan kewajiban untuk menghargai
kebenaran agama dalam perspektif pemeluk lain harus dirumuskan bersama. Di
Indonesia, pengakuan kan pluralitas agama dan kebebasan memeluk agama telah
diatur dalam UUD 1945 pasal 29. hal ini mengindikasikan bahwa untuk kebebasan
memeluk agama dan toleransi antarumat beragama telah menjadi masalah nasional.
Langkah strategis untuk masa depan adalah membangun rasa saling memahami,
kerjasama, dan berapresiasi antar pemeluk agama.
Keadaan
demikian dianggap perlu mengingat perbedaan keyakinan terhadap sesuatu yang
sacral itu bertemu dalam dimensi kehidupan social manusia, maka diperlukan
usaha semua penganut agama untuk bersama-sama memelihara kerukunan antarumat
beragama untuk hidup berdampingan ditengah perbedaan dimaksud dengan kedaan dan
ruang yang ada, baik melalui organisasi maupun lembaga social lainnya yang
tersedia.
Jadi
pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran social, yakni bahwa secara
sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing. Persoalan
kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing agama.
Mukti
Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran di ajukan orang untuk mencapai
kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama,
sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, renconception, yaitu menyelami
dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis yaitu menciptakan suatu
agama baru yang element-elementnya di ambil dari berbagai agama, supaya dengan
demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya
telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah
yang benar, sedang agama-agama yang lain adalah salah dan berusaha supaya
orang-orang yang lain agama masuk kedalam agamanya. Kelima, agree in disagreement
(setuju dalam perbedaan), yaitu percaya agama yang di peluk itulah agama yang
paling baik dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang di
peluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dengan
agama lainnya selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan.
Mukti
Ali sendiri setuju dengan jalan “agree in disagreement”. Ia mengakui inilah
yang penting di tempuh untuk menimbulkan kerukunan hidup beragama. Orang yang
beragama harus percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik
dan paling benar, dan orang lain juga di persilahkan, bahkan di hargai, untuk
percaya dan yakin bahwa agama yang di peluknya adalah agama yang paling baik
dan paling benar.
Menurut
Johan Efendi, islam secara tegas memberi kebebasan sepenuhnya kepada manusia
dalam masalah agama dan keberagamaan. Ia merujuk ayat Al-Qur`an yang menyatakan
bahwa “tak ada paksaan dalam agama.” Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan
bahwa tuhan mempersilahkan siapa saja yang mau beriman atau kufur terdahap–Nya.
Menurutnya islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam
mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai
ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang
lain adalah ajaran agama, di samping itu memang merupakan sesuatu yang penting
bagi masyarakat majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa
saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian
dari kemusliman. Ia merujuk ayat Al-Qur`an yang menyatakan keharusan membela
kebebasan beragama yang di simbolkan dengan sikap mempertahankan rumah-rumah
ibadah seperti biara, gereja, sinagog, masjid.
Petunjuk
konkrit lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak di benarkan sama sekali
suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memendang rendah atau
kurang menghargai kelompok lainya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang
rendah itu lebih baik dari pada mereka yang memandang rendah. Ini menfgajarkan
kita dalam pergaulan dengan sesama manusia, khususnya sesama kalangan yang
percaya kepada Tuhan tidak melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala
permusuhan.
Menurut
Nurcholish, kesamaan-kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah sesuatu yang
mengejutkan. Ia berargumentasi, semua yang benar berasal dari sumber yang sama,
yaitu Allah, Yang Maha Besar (Al-Haqq). Semua Nabi dan Rasul membawa ajaran
kebenaran yang sama. Sementara itu, adannya perbedaan hanyalah dalam
bentuk-brntuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan
tempatnya ditegaskan bahwa perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran
pokok atau syariah para Nabi dan Rasul adalah sama.
Ø Berbagai perspektif Pluralisme
Agama
Secara
sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah
berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Dalam kenyataan sosial,
kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya
pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan tidak
berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari
agama lain.
Sebagaimana
yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat
ditawa-tawar, apalagi berganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka
keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, umat
beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam
keadaan involved (terlibat).
Pandangan
pluralism tidak berarti adanya pertemuan dalam hal keimanan, namun halnya
merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain. Oleh karena itu, dalam
satu persoalan (objek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut
pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang Al-Quran, Bibel, Nabi
Muhammad, Yesus dan Mariam.
Ø Ber-Islam di Era Multikulturalisme
Satu
pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural
secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Kunci utama agar tetap bertahan dalam perbedaan perspektif antar
agama, antar etnik dan antar budaya adalah pada cara kita belajar mengelola
keragaman dan konflik. Nyata bahwa prioritas untuk menghadapi pluralitas dan
multikulturalitas bangsa yang semakin canggih dan percepatannya melalui
globalisasi, hanya memperoleh solusi praktis secara kreatif ketika berbagai
pandangan dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa.
Tujuan
luhur teologi multikulturalis adalah pembebasan dari belenggu kebodohan,
kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari
relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior,
menindas-tertindas baik dalam hubungan antaragama, etnik dan budaya.
Islam
pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama
kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan
agama.
Pluralitas
dan multikulturalitas untuk dialog, bukan pertentangan, adalah teknologi masa
depan yang muncul dari pandangan rasional yang merupakan dasar bagi semua
pengalaman keagamaan dan kultural.
Sikap
toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan
tetangga yang seiman dengan kita ataupun tidak. Sikap toleransi itu
direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling
menolong.
Orang
yang taat beragama adalah orang yang berprilaku sesuai sistem budaya dan
komitmen terhadap ajaran agama yang dianutnya sesuai taraf pengetahuan yang
sederhana, masyarakat “primitif” misalnya harus memuja benda-benda alam dan
memberikan persembaha sesuai hasil pemikirannya. Jadi dalam hal ini tetap ada
sistem knowledge pada diri manusia untuk melakukan tindakan keagamaan. Di satu
sisi agama berdasarkan sejarahnya merupakan masalah sosial, karena menyangkut
kehidupan manusia yang tidak bisa terlepas dari kajian-kajian sosial. Dalam
konteks-konteks inilah Emile Durkeheim menggambarkan bahwa agama merupakan
sumber aspirasi manusia yang paling dalam,sumber semua kebudayaan yang sangat
tinggi, agama menunjukkan seperangkat aktifitas manusia dan sejumlah bentuk
sosial yang mempunyai arti penting.
Dalam
artikel klasikmya bejudul “Agama sebagai Sistem Budaya” Geertzmetakinkan bahwa
hakikat agama adalah sistem aggasan yang bersifat kognitif dan esensial bagi
kehidupan manusia. Geertz mendefinisikan agama dengan berbagai istilah sebagai
fungsi agama yang mengandung simbol-simbol pengetahuan, keyakinan, norma, dan
nilai-nilai social budaya itu. Sebabnya dalam konsep Geertz, agama juga
merupakan system symbol yang mengandung makna spiritual tang sacral. Geertz
mamandang bahwa tidak ada integrasi yang baik pada kebudayaan maupun tingkat
social, kecuali dengan pendekatan agama sebagai system budaya.
Untuk
menuju persamaan persepsi dalam kerukunan antar pemeluk agama yang berbeda,
maka kesadaran akan kebenaran agama yang dianut dan kewajiban untuk menghargai
kebenaran agama dalam perspektif pemeluk lain harus dirumuskan bersama. Di
Indonesia, pengakuan kan pluralitas agama dan kebebasan memeluk agama telah
diatur dalam UUD 1945 pasal 29. hal ini mengindikasikan bahwa untuk kebebasan
memeluk agama dan toleransi antarumat beragama telah menjadi masalah nasional.
Langkah strategis untuk masa depan adalah membangun rasa saling memahami,
kerjasama, dan berapresiasi antar pemeluk agama.
Keadaan
demikian dianggap perlu mengingat perbedaan keyakinan terhadap sesuatu yang
sacral itu bertemu dalam dimensi kehidupan social manusia, maka diperlukan
usaha semua penganut agama untuk bersama-sama memelihara kerukunan antarumat
beragama untuk hidup berdampingan ditengah perbedaan dimaksud dengan kedaan dan
ruang yang ada, baik melalui organisasi maupun lembaga social lainnya yang
tersedia.
Jadi
pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran social, yakni bahwa secara
sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing. Persoalan
kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing agama.
Mukti
Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran di ajukan orang untuk mencapai
kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama,
sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, renconception, yaitu menyelami
dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis yaitu menciptakan suatu
agama baru yang element-elementnya di ambil dari berbagai agama, supaya dengan
demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya
telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah
yang benar, sedang agama-agama yang lain adalah salah dan berusaha supaya
orang-orang yang lain agama masuk kedalam agamanya. Kelima, agree in disagreement
(setuju dalam perbedaan), yaitu percaya agama yang di peluk itulah agama yang
paling baik dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang di
peluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dengan
agama lainnya selain terdapat perbedaan juga terdapat persamaan.
Mukti
Ali sendiri setuju dengan jalan “agree in disagreement”. Ia mengakui inilah
yang penting di tempuh untuk menimbulkan kerukunan hidup beragama. Orang yang
beragama harus percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik
dan paling benar, dan orang lain juga di persilahkan, bahkan di hargai, untuk
percaya dan yakin bahwa agama yang di peluknya adalah agama yang paling baik
dan paling benar.
Menurut
Johan Efendi, islam secara tegas memberi kebebasan sepenuhnya kepada manusia
dalam masalah agama dan keberagamaan. Ia merujuk ayat Al-Qur`an yang menyatakan
bahwa “tak ada paksaan dalam agama.” Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan
bahwa tuhan mempersilahkan siapa saja yang mau beriman atau kufur terdahap–Nya.
Menurutnya islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam
mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai
ajaranya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang
lain adalah ajran agama, di samping itu memang merupakan sesuatu yang penting
bagi masyrakat majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa
saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian
dari kemusliman. Ia merujuk ayat Al-Qur`an yang menyatakan keharusan membela
kebebasan beragama yang di simbolkan dengan sikap mempertahankan rumah-rumah
ibadah seperti biara, gereja, sinagog, masjid.
Petunjuk
konkrit lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak di benarkan sama sekali
suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memendang rendah atau
kurang menghargai kelompok lainya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang
rendah itu lebih baik dari pada mereka yang memandang rendah. Ini menfgajarkan
kita dalam pergaulan dengan sesama manusia, khususnya sesama kalangan yang
percaya kepada Tuhan tidak melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala
permusuhan.
Menurut
Nurcholish, kesamaan-kesamaan yang ada dalam agama-agama bukanlah sesuatu yang
mengejutkan. Ia berargumentasi, semua yang benar berasal dari sumber yang sama,
yaitu Allah, Yang Maha Besar (Al-Haqq). Semua Nabi dan Rasul membawa ajaran
kebenaran yang sama. Sementara itu, adannya perbedaan hanyalah dalam
bentuk-brntuk responsi khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan
tempatnya ditegaskan bahwa perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran
pokok atau syariah para Nabi dan Rasul adalah sama.
Bab
III
Simpulan
Dalam
ilmu kebudayaan, agama yang disebut juga religi diskemakan sebagai bagian dari
kebudayaan. Agama termasuk Islam dalam bagian dari skema kebudayaan setelah ia
meninggalkan bentuk aslinya sebagai wahyu, yaitu bersentuhan denga aspek-aspek
budaya dari manusia itulah yang memfenomena pada sikap dan perilaku manusia.
Karena itu dapat pula dimengerti kalau para ahli ilmu sosial melihat agama sebagai fenomena sosial. Dan
karena fenomena sosial, agama oleh mereka diamati, diteliti, dan dinyatakan
menurut patokan-patokan ilmu sosial.
Sebagai fenomena gejala sosial, agama dalam
relitas sosial dapat dipahami dan di jelaskan dengan pendekatan ilmu-ilmu
sosial dan ilmu-ilmu lainnya.
Saran
Kita
harus tetap menjaga konsep ‘Unity in Diversity’ atau Bhineka Tunggal Ika untuk
terus menjaga dan mengembangkan toleransi dalam hubungan antar penganut agama
di Indonesia, yang berakar dari budaya musyawarah untuk mufakat, menjadi salah
satu cara dalam membangun dan mempertahankan keharmonisan dunia modern.
Daftar Pustaka
- http://www.arrahmah.com/index.php/news/read/3567/indonesia-model-hubungan-ideal-antar-umat-beragama
- http://digilib.si.itb.ac.id/go.php?id=laptiain-gdl-s1-2001-komariah-634-toleransi
- http://mukhlis101.multiply.com/journal/item/6
- http://www.komunitasdemokrasi.or.id/printerfriendly.php?id=247_0_14_0
Makalah Zainul Abas.
www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Zainul%20Abas.doc
–
0 Comments