Sistem Sosial Indonesia

Oleh : Dr. Nasikun

Resume : Rizki Al Kharim



BAB I
PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan ini kita banyak membahas tentang latar belakang penulis yaitu Dr. Nasikun, cerita semasa hidupnya memeng unik, penulis yang duduk di kelas tiga SD saat itu, memang belum berpikir dewasa, dikala itu sedang terjadi pertempuran antara tentara RI dengan pasukan darul islam(DI) yang kebetulan sedang bertahan didesa sebelah tempat tinggal mereka. Penulis dan teman-temanya yang kala itu sedang asik menyaksikan pertempuran itu justru sangat menikmatinya mereka menganggap itu seperti permainan yang biasa mereka mainkan, padahal dalam pertempuran yang dapat merenggut nyawa merekapun masih dianggap sebagai permainan. Salah satu dari teman penulis gugur akibat dari pertempuran itu, mengapa dia gugur?. Tentara RI memeinta tolong kepada bocah malang tersebut untuk memberitahu dimana keberadaan pasuakan darul islam tersebut, ditengah pertempuran tersebut dia gugur. Kisah itu menjadi buah bibir masyarakat setempat dan teman-teman penulis di sekolahnya.

Lambat laun cerita tentang pertempuran yang membawah kematian seorang bocah tersebut menjadi hilang ditelah jaman, seolah waktu menghapusnya fenomena yang telah terjadi, itu menjadi pengalaman tersendiri dalam diri seorang Nasikun kecil yang kalah itu mengaanggap peristiwa itu sangat mengerikan dalam ingatannnya. Waktu pun semakin berlalu seorang Nasikun kecil tumbuh menjadi dewasa pertumbuhan itupun juga disertai dengan pertumbuhan cara berpikirnya dengan di imbangi pula dengan pengetahuan yang luas. Dalam benak hatinya, penulis mulai tertarik untuk mempelajari  peristiwa-pristiwa konflik yang terjadi di Indonesia dengan pengalaman hidupnya dimasa kecil penulis semakin ingin tahu bagaimana peristiwa-peristiwa itu terjadi dan apa yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Penulis mulai mengerti dan mencari peristiwa konflik yang terjadi di Indonesia seperti pemberontakan PKI pada tahun 1948, pemberontakan  DI/TII, pemberontakan PRRI-Permesta dan gerakan 30 September 1965 yang hampir memusnahkan persatuan bangsa Indonesia. Masih banyak konflik lokal yang belum terhitung yang dapat memeicu tejadinya konflik besar yang menggangu kestabilan Negara Indonesia. Semboyan bangsa Indonesia yang sering kita baca mungkin kurang dapat dimengerti dan dipahami apa makna yang terkandung didalamnya oleh masyarakat Indonesia kebanyakan, banyak pertikaian yang terjadi karena kekeuatan kepentingan golongan yang tidak lain basicnya adalah kepentingan politik dan sosoial. Bhinneka Tunggal Ika masih menjadi cita-cita bangsa Indonesia dimasa mendatang. Masalah konflik dan integrasi yang cukup menjadi polemik publik pada saat itu menjadi perhatian khusus pemerintahan Indonesia, masyarakat sanggat mengharapkan persatuan tapi disisi lain banyak konflik yang  terjadi .
Konflik dan integarasi menjadi masalah pening yang harus diselesaikan. Penulispun semakin ingin mengetahui jawaban dari semua masalah ini. Memahami konflik bukanlah suatu peristiwa yang asing, konflik dapat terjadi dimana-mana, konflik sendiri adalah suatu gejala sosial dimana terdapat gesekan diantara masyarakat yang dapat menimbulkan pertentangan yang pada akhirnya dapat memicu permunsuhan. Besar kecilnya konflik juga dipengaruhi seberapa kuat sumber konflik, konflik dimasing-masing daerah mempunyai pola yang berbeda karena sumber-sumbernaya  pun juga berbeda dan faktor yang mempengaruhi konflik tersebutpun juga berbeda. Intergarasi sendiri juga dapat dipandang dengan dua cara yang pertama integari dapat diartikan sebagai alat untuk mengatasi konflik yang terjadi dan penyimpangan-penyimpangan di dalam kehidupan masyarakat, sedangkan dalam pengertian kedua integrasi dapat diartikan sebagai jalan untuk mempersatukan unsur-unsur dimasyakat sehingga menjadi kesatuan yang utuh. Mungkin dari dua pengertian diatas kita akan dapat memehami dengan jelas apa yang sebenarnya pokok persoalan yang akan diangkat penulis dalam karangannya. Penulis mulai membuat konsep yang melatarbelakangi tulisanya yaitu dia membuat pertanyaan”faktor-faktor laten apakah yang sesungguhnya telah menyebabkan timbulnya semua pertentangan –pertentangan yang terjadi di masyarakat dan apa yang senantiasa menjadi sumber yang bersifat laten pula bagi konflik-konflik sosial yang mungkin saja dapat terjadi di bangasa Indonesia yang akan datang?. Pertanyaan yang cukup fundamental ini membawa penulis untuk semakain berpikir dengan  membuat serangkaian  gagasan dari pertannyaan diatas sehingga dapat menjadi latarbelakang konsep yang utuh. Dengan memahami apa penyebab pertentangan dan apakah sumber-sumber konflik tersebut kita akan mudah memehami maksud dan tujuan penulis kalau kita gambarkan dalam sebuah cotoh adanya konflik dalam masyarakat seperti dalam suatu daearah akan di bangun sebuah pabrik minyak tetapi masyarakat di daerah tersebut tidak setuju  karena mereka yang sebagian besar bekerja sebagi peternak ikan air tawar akan merasakan dampak dengan pembuangan limbah oleh pabrik yanga akan mempengaruhi hasil panen mereka limbah yang di buang secara sembarangan dana daur ulang akan dapat merusak lingkungan termasuk tanah, air dan sebagainaya,ini adalah sebab pertentangan yang terjadi. Setiap pertentangan pasti memiliki sumber pertentangan tersebut dalam konflik diatas pertentangan yang terjadi antara penduduk desa dan pengusaha juga pasti mempuanyai sumber- sumber penyeab pertentangan, sumber pertentang tersebut adalah adalah kelangsungan hidup penduduk desa dengan kata lain pendudukn  desa ingin tetap hidup sejahtera mereka takut dengan adanya pebrik yang dapat mambuang limbah akan mempengaruhi mata pencaharian mereka dan dalam sisi perusahaan ingin memperluas badan usahanya dengan membuka pabrik di desa karena tanahnya berharga murah  yang nantinya akan menghemat pengerluaran perusahaan, dengan menghemat pengeluaran maka kas perusahaan akan lebih hemat. Dengan perumusan seperti  in kita akan mengerti apa sebabnya terjadi pertentangana dan apa sumber dari pertentangan tersebut, yang pertama dapat dipengaruhi dari kesejahtraan atau ingin hidup makmur yang kedua ingin memperolah kekayaan atau harta kedua sumber konflik tersebut sebenarnya sering kita dengar dalam kehidupan sosiala kita. Masih banyak sumber-sumber konflik yang laian yang dapat mempengaruhi adanya pertentangan. Semakin banayak terjadinaya pertentangan dalam kehidupan masyarakat maka akan dapat mempengaruhi hubungan secara vertical dan horizontal  didalam masyarakat tersebut seperti kurangannya sifar gotong royang,  kekeluargaan dan lain-lain yang semua itu adalah nilai yang dijadikan budaya bangasa Indonesia yang sangat mulia dengan seringannya terjadinya konflik akibat sifat kepentingan, nilai tersebut akan terkikis dan mungkin bisa hilang dalan budaya Negara Indonesia yang secara tidak langsung akan menyebabkan perpecahan dalam kehidupan berbangasa dan bernegara.
Kita tidak boleh mengaanggap remeh sebuah konflik deangan menyelesaikan dengan sikap tak memperdulikan konflik tersebut dan dianggap sebagai anggin lalu maka suatu saat konflik tersebut akan menjadi konflik yang lebih besar yang akan membuat kita semakin sulit dalam menghadapi konflik tersebut. Penulis memehani konflik yang terjadi dimasyarakat secara mendalam dengan memahami adanya konflik sosial yang bersifat laten yang menyebabkan tibulnya konflik-konflik  sosal didalam masyarakat, kita dapat pula menyusun kebijakan yang bersifat mendasar untuk bagaimana cara untuk meminimalisir sumber-sumber konflik dan menghindarsi konflik tersebut dikemudian hari. Penulispun semakin menemukan jawaban latar belakang konsep karangan yang akan dibuatnya, dengan maemahani pertanyaan faktor-faktor apa yang secara laten yang menyebabkan timbulnya konflik sosial di dalam masyarakat kita, kita akan sekaligus akan menemukan jawabab dari pertanyaan yang jahu lebih mendasar yaitu fakto-faktor apakah yang sebaliknya mengintegrasikan masyarakat Indonesia yang memiliki kondisi-kndisi konflik semacam itu?. Kedua macam pertannyaan itu menjadi dasar latar belakang penulis untuk menulis karangan ini. Pada tingkat pertama minat tersebut hanya berupa keinginan untuk mengungkapkan dan memehami faktor- faktor yang mendasari terjadinya konflik-konflik sosial di Indonesia yang pada akhirnya membawa bagaimana cara untuk mengintegrasikan masyarakat Indonesia dengan berbagai kondisi konflik yang ada dan kemungkinan-kemungkina di kemudian hari. Dua permasalahan inilah yang yang diangkat penulis dalam karangan pendeknya diantara banyak pendekatan-pendekatan dalam sosioligi yang membahas tentang permasalahan tentang konflik dan integrasi dalam karangannya penulis hanya menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan fungsional structural dan pendekatan konflik. Dengan kedua pendekatan tersebut kita akan lebih muda untung mencoba menganalisis tentang system sosial yang terjadi di Negara Indonesia.  Negara bukanlah Negara yang jahu dari konflik malah Negara kita yang terdiri dari berbagi macan kebudayaan, suku, bahasa, agama dan latar belakang kehidupan yang berbeda akan jahu lebih banyak mendatangkan konflik dan integrasi didalamnya akan semakin sulit kalau kita tidak menemukan sumber-sumber konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu permasalahan yang ada dalam masyarakat kita tidak akan pernah habis kalu kita tidak dapat memahami system sosial apa yang sedang berjalan dalam masyarakat kita dan sekaligus permasalahkan sosial dalam Negara kita tidak akan dapat terselesaikan dengan baik apabila kita tidak memehami bagimana system sosial dalam Negara kita. Semua itu menjadi tugas kita untuk menjadikan Negara kita menjadi Negara persatuan yang utuh dan tidak terpeach-pecah. Dengan adanya pengintergrasian dalam diri setiap masyarakat maka itulah modal awal untuk terjadinya suatu budaya dalam masyarakat utuk meneruska proses nilai persatuan tersebut dalam kehidupan masyarakat, yang nantinya membentuk sebuah pengintegrasian secara nasional dan menyeluruh di seluruh rakyat Indonesia.



BAB II
PENDEKATAN TEORITIS



Kita  harus paham arti dari sebuah pendekatan sebelum kita memendang suatu permasalahan dalam pendekatan tersebut. Pendekatan secara umum adalah sebuah cara atau metode untuk menjelaskan suatu permasalahan dengan teori-teori dan sudut pandang pendekatan tersebut. Kita akan membahas dua pendekatan teoritis. Sudut pandang yang sangat popular yang sering digunakan oleh ahli sosiologi yang memandang bahwa masyarakat pada dasarnya terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai masyarakat tertentu , suatu general agreements yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Ia memendang masyarakat sebagai suatu system yang fungsional terintegrasi kedalam suatu bentuk ekuilibrium. Pendekatan yang demikian dikenal dengan pendekatan fungsional structural atau fungsionalme-struktural. Teori-teori yang menjadi dasar dari pendekatan tersebut antara lain yaitu: integration theories, order theories, equilibrium theories atau lebih dikenal sebagai teori-teori fungsional structural.
Kita disini akan mulai membahas teori fungsional structural, teori ini tumbuh dengan cara melihat masyarakat yang menganalogikan, masyarakat dengan organism biologis, suatu pendekatan yang seringkali kita kenal sebagai organismic approach. Pendekatan ini tumbuh pada awal dikenalnya ilmu sosiologi, yang paling mendasar dalam pendekata ini adalah usaha intuk menerangkan hubungan antara konsep struktur dan fungsi yang sudah muncul didalam pemikiran Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan kemudian menjadi bentuk jelasnya oleh para antropologi yaitu: Bronislaw Malinowski dan Red cliffe  -Brown. Penyempurnaan dari pendekatan fungsional strultural dapat kita kaji dengan aggapan dasar yang kala itu yang di plopori oleh Talcott Persons dan pengikutnya, yang pada intinnya antara lain pendekatan tersebut:
1) Masyarakat harus dilihat sebagai suatu system dari pada bagian-bagian yang saling  berhubungan satu sama lain. 2) Adanya hubungan yang bersifat timbale balik dalam bagian-bagian tersebut. 3) Sistem bergerak secara dimanis dengan mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dari luar yang akan mempengaruhi system. 4) Dalam integrasi sosial pada tingkatan sempurna, tidak akan pernah tercapai, tetapi setiap system sosial senantiasa berperoses kearah seperti itu. 5) Perubahan yang terjadi pada system sosial sebenarnya hanya secara gradual, melalui penyesuaian dan tidak berubah secara total, hanya sebagian kecil dari pokok darasntya saja. 6) Perubahan sosia yang timbul melalui tiga kemungkina penyesuaian yang dilakukan oleh system sosial terhadap perubahan dari luar, pertumbuhan melalui proses diferensi structural dan fungsional, serta penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat. 7) Faktor yang paling penting dalam pengintegrasian suatu sistem sosial adalah nilai-nilai yang dianut masyarakat itu sendiri mereka yang menganggap nilai tersebut sebau nilai mutlak yang harus dijalankan, nilai-nilai tersebut yang menjadikan masyarakat terintegrasi dengan sendirinya dan menstabilkan system sosial budaya.  Ketujuh kajian dasar dari pendekatan fungsional structural yang akhirnya kita akan penemukan suatu proses dimana terjadinta system sosial dalam masyarakat.
Masyarakat yeng terdiri dari individu menjalin sebuah interaksi yang dalam interaksi yang saling timbal balik yang menyebabkan terbuntuk nilai-nilai yang mengikat kehidupan mereka yang akhirnya dapat menyelaraskan perbedaan-perbedaan yang timbul diantara mereka, nilai-nilai yang menjadi standart umum dikenal dengan norma-norma sosial yang akhirnya membentuk struktur sosial yanga mengatur kehidupan masyarakat yang ada didalamnya. Fungsi struktural tersebut yang menjadi pengintegrasian dalam sistem sosial. Didalam perkembangannya system sosial yang dipandang dengan pendekatan fungsional struktural kurang bisa bersiafat didmanis karena banyaknya kekurangan dalam teori dari pendekatan tersebut salah satu yang mengkritik adalah David Lockwood dia menganggap pemikiran person selalu didasarkan pada anggapan-anggapan dasar pada peranan unsure normative dari tingkahlaku sosial, khususnya pada prose-proses hasrat-hasrat seseorang diiatur secara normative untukmenjamin terpeliharanya stabillitas sosial. Didalam pemikiran David Lockwood ada substratum yakni diposisi dimana hasrat manusia yang mengakibatkan timbulnya perbedaan dan kepentingan yang tidak bersifat normative. Disinilah kelemahan pendekatan fungsional structural. Oleh karena itulah oleh kebanyakan ahli pendekatan fungsional structural dipandang sebagai pendekatan yang reaksioner, dan oleh karena itu dianggap kurang mampu menganalisis masalah-masalah perubahan kemasyarakatan. Pendekatan tersebut dianggap telah mengbaikan kenyataan konflik yang akan terjadi dan kontradiksi-kontrdisi yang bersifat internal yang dapat menjadi sumber bagi perubahan-perubahan kemasyarakatan, dan kurang memberikan tempat yang wajar pada kenyataanya suatu system tidak selalu mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dari luar. Kelemahan dari pendekatan fungsional structural menjadi bahan yang dikaji oleh para penganut pendekatan konflik.  Pendekatan konflik sendiri dapat kita bedakan yaitu menjadi pendekatan yang lebih kecil yakni, Structuralist-Marxist dan Structuralist-Non Marxist disi pokok yang penulis sajikan perpangkal dari pendekatan Structuralist-Non Marxist. Anggapan-anggapan dasar tersebut pada intinya sebagai berikut. 1) Perubahan sosial selalu melekat dalam diri setiap masyarakat. 2) Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik didalam dirinya. 3) Setiap unsur dalam suatu masyarakat mempengaruhi terjadinnya disintegrasi dan perubahan sosial. 4) Setiap masyarakat terintegrasi oleh penguasa. Para penganut pendekatan konflik mengaangap dalam diri manusia selalu terdapat konflik yang dapat mempengaruhi perubahan system sosial. Penganut pendekatan konflik juga mengungkapkan bahwa didalam setiap masyarakat terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otiritas berupa kepentingan untuk memelihara atau bahkan mengukuhkan status-quo dari hubungan kekuasaan yang ada, dengan kepentingan mereka yang mempunyai kekuasaan otoritas, berupa kepentingan untuk merubah atau merombak status-quo dari pola hubungan-hubungan tersebut. Pendekatan konflik disini tidak bersifat subyktif  tetapi obtektif  dengan begitu kekuasaan yang membuat konflik kepentingan siapa kelompok yang dapat mempengaruhi dan menerapkan pola-pola yang dapat mengintegrasikan masyarakat dengan system sosial yang dibuat oleh kelompok kepentingan tersebut. Apabila kita tinjau lebih dalam sebebarnya kelompok kepentingan berasal dari kelompok-kelompok penuh yang tidak mempunyai otoritas apapun, tapi kelompok semu ini melahirkan beberapa sebuh bagian-bagian kecil yang nantinya berguna untuk masyarakat, kelompok semu dapat berubah menjadi kelompok kepentingn dengan memennuhi syarat-syarat sebagai berikut, menurut Dehrendorf ada tiga syarat yaitu yang pertama disebut dengan kondisi-kondisi teknis dari suatu organisasai maksudya adalah munculnya sejumlah orang tertentu yang mampu merumuskan dan mengorganisir latent interests dari suatu kelompok semu menjadi manifest interests yang tersebut mereka merumuskan kedalam suatu bentuk ideologi atau sistem nilai yang pada gilirannya akan menjadi program dari suatu kelompok kepentingan. Kedua yaitu tentang kondisi-kondisi politik adalah ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat. Ketiga yaitu kondisi-kondisi sosial adalah adanya system komunikasi yang memungkinkan para anggota suatu kelompok semu dapat berorganisasi satu sama lain dengan muda, ketiga kondisi ini saling mempengaruhi satu sama lain( intervening variable) ketiga kondisi ini bersifat dinamis. Adanya kelompok kepentingan yang banyak dalam masyarakat membuat banyaknya konflik yang terjadi diantara kelompok tersebut. Konflik-konflik tersebut dapat dihindari salah satunya dengan konsoliasi,  pola penyelesaian masalah ini bersifat diskusi antara perwakilan kelompok-kelompok kepentingan tentang persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan dengan cara yang damai, ada lembaga yang harus berfungsi untuk membantu kelompok-kelompok kepentingan ini dalam menyelesaikan lpertentangan yang terjadi diantara mereka, syaratnya lembaga ini harus memenuhi syrat sebagai berikut  afar berfungsi secra efektif,1) Lembaga tersebut harus bersifat otonom,2) Kedudukan lembaga tersebut dalam masyarakan bersifat monopolis, 3) Perana kelompok tersebut haruslah bersifat yang penting dimasyarakat sehingga kelompok kepenting dan anggotanya tersebut dapat diikat dengan keputuanya , 4) Lembaga tersebut harus bersifat demokratis. Semua itu dapat diselenggarakan apabila dalam kelompok-kelompok kepentingan dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Mereka harus menyadari adanya konflik diantara mereka, 2) Pengendalian konflik dapat terjadi apabila berbegai kekuatan sosial dapat terorganisir dengan jelas, 3) Setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan yang terlah dibuat. Konsiliasi bukanlah jalan satu-satunya dalam menyelesaikan konflik apabila konflk tidak meredah maka jaln mediasi dipilih sebagai alternative dalam menyelesaikan konflik kepentingan.  Mediasi sendiri adalah suatu cara penyelesaian kkonflik diman pihak-pihak yang bertikan bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga tentang bagimana menyelesaikan pertentangan tersebut dengan nasihat-nasihat yang tidak mengikat. Pengendalian yang ketiga yang digunakan adalah perwasitan yaitu penyelesaian konfliik yang menggunakan pihak ketiaga sebagai pengtur jalanya diskusi dn keputusan oleh pihak ketiga harus menerima keputusan dari wasit. Ketiga jalan tersebut untuk mennyelesaikan konflik bukan menghilangkannya, karena konflik akan selalu ada dalam setiap masyarakat, sebenarnya dengan adanya konflik antara kelompok kepentingan yang diselesaikan dengan cara damai justru akan dapat mendorang perubahan-perubahn sosial yang tidak akan mengenal akhir.

BAB III
STRUKTUR MAJEMUK
MASYARAKAT INDONEASIA



Setiap pendekatan pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan dalam pendekatan fonflik pun juga ada kelemahan seperti halya pendekatan fungsional struktural, yang terpenting dalam memendang sistem sosial bukan menggunakan dari salah satu pendekatan tersebut tetepi kita coba mensintesiskan kedua pendekatan tersebut trus kita memendang dengan sistesis yang saling berkaitan tersebut, dengan begitu kita akan dapat menemukan-menemukan perbedaan-perbedaan dalam dua pendekatan itu yang harus kita integrasikan. Pada bab kali ini yakni tentang struktur majemuk masyarakat Indonesia, kita akan coba membahas tentang  struktur masyarakat Indonesia yang di tandai dengan dua ciri yaitu bersifat horizontal, yaitu ditandai kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarka perbedaan-perbedaan suku-bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan kedaerahan. Sifat kedua yaitu secara vertical ditandai adanya perbedaan lapisan atas dan lapisan bawah. Kita akan coba membicarakan kedua sifat tersebut,
Kita semua tahu bahwa masyarakat Indonesia adalah bangsa yang majemuk karena didalamnya terdapat banyak perbedaan suku bangsa, agama adat, bahasa daerah dan latar belakang kehiudupan sosial mereka, ini semua yang membuat masyarakat Indonesia menjadi bangsa yang majemuk, di ungkapkan oleh Furnivall pada masa pemerintahan Hindia-Belanda masyarakat Indonesia terbagi dalam tiga golongan yaitu golongan masyarakat Belanda, golongan masyarakan Tionghoa dan golongan masyarakat Pribumi mereka mempunyai pola dan nilai-nilai yang menjadi dasar kehidupan mereka yang sangat mengakar kuat dalam kehidupan bernasyarakat. Dengan adanya nilai-nilai yang dianut dari taip golongan sulit sekali pada saat itu terjadi pengintegrasian mereka mengaanggap kelompoknya paling baik, yang menyebabkan tidak adanya kehendak bersama atau permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat (common social demand) mereka hanya bekerjasama dalam masalah ekonomi yang akhirnya menghantarkan mereka pada cara bagai mana memenuhi kebutuhan mereka seperti golongan Belanda sebagai masyarakat perkebunan, golongan Pribumi sebagai mastarakat pertanian dan golongan Tionghoa sebagi golongan pemasaran diantara kedua golongan tersebut.  Semua yang kita gambarkan adalah gambaran dari masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, sedangkan keadaan masyarakat pada masa kini gambaran pada masa dulu dijadikan rujukan untuk melihat kemajemukan masyarakat Indonesia pada masa yang sekarang dengan gambaran tersebut kita akan dapat mendiskripsikan masyarakat majemuk sebagi masyarakat yang mempunyai beberapa karateristik yang di ungkapkan oleh Pierre L. van den Berghe sebagai sebagai sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yaitu: 1) Adanya bentuk-bentuk dalam kedalam kelompok yang memiliki sub kebudayaan yang berbeda, 2) Memiliki struktur sosial yang dan lembaga yang bersifat non parlementer, 3) Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, 4) Seringannya konflik antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. 5) Secara relative integrasi sosial tumbuh karena paksaan dan saling ketergantungan didalam bidang ekonomi, 6) adanya dominasi pilitik oleh suatu kelompok atas kelompok lain.
Setelah masa revolusi kemerdekaan tidaklah sama dengan pada masa Hindia-Belanda masyarakat Indonesia setelah revolusi perbedaanya atau kemajemukanya lebih bersifat internal dalam golongan Pribumi, dalam golongan Pribumi atau masyarakat Indonesia sendiri mengalami pluralisme yang cukup beragam. Kemajemukan masyarakat Indonesia yang bersifat horizontal  yang mempengaruhi pluralisme dalam masyarakat Indonesia mempunyai faktor-faktor antara lain, yakni.
Factor yang pertama yang menyebabkan keberagama masyarakat Indonesia adalah adanya keadaan wilayah Indonesia diatas kurang lebih 3.000 pulau yang tersebar di seluruh Indonesia sepanjang 3.000 mil dari Timur ke Barat dan lebih dari 1.000 mil dari Utara ke Selatan, merupakan faktor yang sangat mempengaruhi terciptanya pluralisme suku bangsa di Indonesia yang sekarang, suku bangsa yan g terbesar diindonesia menurut Skinner, yakni Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau dan bugis masing-masingg memiliki jumlah anggota 36 juta, 12,5 juta, 5 juta, 2,7 juta, dan 2,4 juta orang pada tahun 1956. Delapan suku yang lain memiliki jumlah anggota antara 750.000 sampai 2 juta orang pada tahun yang sama, termasuk Bali dengan 1,6 juta orang, Sumbawa memeiliki jumlah anggota disekitar 135.000 orang. Kendati angka  tersebut untuk menggambarkan keadaan puluan tahun yang lalu, akan tetapi dengan perkiraan dengan angka kelahiran dan kemataian selama ini memiliki rata-rata bagi bagi kebanyakan suku bangsa yang ada di Indonesia.
Faktor yang kedua adalah kenyataan bahwa Indonesia terletak diantara samudera Indonesia dan samudra pasifik, sangat mempengaruhi pluralisme agama. Letak bangsa Indonesia yang strategis membuat Indonesia sering disinggahi oleh para bedagang dari belahan dunia, Indonesia  yang merupakan penghasil rempah-rempah yang banyak menjadi kebutuhan masyarakat Dunia khususnya masyarakat Eropa menjadi salah satu tujuan utama perdagangan Dunia. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia adalah kebudayaan Hindu dan Budha dari India sejak 400 tahun sesudah masehi, Hindu dan Budha mempengaruhi budaya bangsa Indonesia yang akhirnya terjadi asimilasi kebudayaan yang melebur menjadi satu budaya yang baru, di pulau Jawa dan Bali Agama Hindu dan Budha tertanam dengan kuat sampai sekarang. Pengaruh budaya Islam mulai memeasuku masyarakat Indonesia sejak abad ke-15 pengaruh agama Islam dapat ditrima dan tertancap dimana agama Hindu dan Budha tidak cukup kuat mempengaruhi masyarkat daerah tersebut, seperti Sumatra, Banten, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kebudyaan barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui kedatangan bangsa Portugis pada permulaan abad ke-16. Sebenarnya kedatangan mereka ke Indonesia untuk mencari rempah-rempah  di daerah kepulauan Maluku, kegiatan tersebut akhirnya menanamkan nilai-nilai agama yaitu agama Katolik didaerah tersebut, Portugis yang keluar dari daerah tersebut kira-kira tahun 1600-an, maka pengaruh agama katolik digantikan dengan Potestan. Belandalah yang sebenarnaya menancapkan nilai-nilai agama Protestan karena sikapnya yang lebih lunak. Semua dari pengaruh agama tersebut terpecah-pecah kedalam beberapa daerah di Indonesia seperti  didaerah luar jawa timbulnya golongan islam yang modernis  di daerah Jawa Timur, sedngkan golongan-golongan islam yang tradisional berada di daerah-daerah pedalaman Jawa Timur dan Jawa Tengah, golongan agama Kristen (Katolik dan Protestan) di daerah Sulawesi Utara, Maluku, NTT, Tapanuli dan Sedikit daerah Kalimantan Tengah. Golongan Hindu ( Hindu-Darma) terutama di pulau Bali.
Faktor yang ketiga adalah factor Iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama diantara daerah diseluruh di Indonesia, ini adalah faktor yang menyebabkan pluralitas yang ada dalam masyarakat Indonesia. Perbedaan curah hujan dan kondisi tanah yang meanyebabkan  tercptanya dua macam lingkungan yang ekologis yang berada di Indonesia, yakni daerah pertanian dan daerah perkebunan perbedaan lingkungan ekologis tersebut yang menimbulkan kontras antara Jawa dan luar Jawa dalam bidang kependudukan, ekonomi, dan sosial-budaya. Kontras tersebut juga mempengaruhi pengadaan pangan yang mengpengaruhi keseluruhan pola perekonomian kedua daerah tersebut. Pulau Jawa dan Madura hanya memiliki luas daerah 132.174,00 kilometer persegi dengan kepadatan 314 pada tahun 1930 dan 455 pada tahun 1961, tidah cukup untuk pemilikan lahan pertanian yang cukup luas. Dengan tidak cukup luasnya daerah pertanian di Jawa maka Jawa sangat bergantung dengan daerah di luar Jawa dalam bidang ekonomi. Dalam pertanian dipulau Jawa yang membutuhkan sistem irigasi maka dulu pada saat pemerintahan Hindia-Belanda, pemerintah memberi alat irigari yang denga konsekuensi harus bekerjasama dengan golongan mastarakat pertanian, seperti pemerintah mempunyai alat-alat canggih yang berguna bagi masyarakat desa untuk tetap melestarikan mata pancahariannya tersebut maka dia harus meminta tolong pada pemerintahan untuk membantunya. Keadaan seperti itupun akhirnya tercermin dan membentuk suatu perbedaan kelompok yang pada masa sekarang adanya kelompok perkotaan dan kelompok perdesaan.
Kemajemukan masyarakat Indonesia juga bersifat vertikal yang di pengaruhi fakror ekomoni dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang saling melengkapi antara sector ekonomi modern dan ekomoni kota. Perbedaan antara kedua sector itu yang membawa kedua struktur yang pada akhirnya berakar dalam perbedaan antara struktur ekomoni kota yang cenderung bersifat modern dan struktur ekomoni desa yang bersifat tradisional, dari sinilah terjadi jarak antara keduanya yang akhirnya terbagi menjadi dua bagian yaitu antara kelompok orang modern dan orang tradisional yang semakin menimbulkan perbedaan secara vertical dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Stratifikasi antara golongan atas dan bawah timbul karena kontras antara keduanya dalam factor ekonomi. Dalam tingkat nasional perbedaan yang berakar ini apabila tidak cepat diatasi akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan yang ujungnya akan mempengaruhi proses pengintegrasian yang sedang dilakukan antara keduanya. Kemajemukan yang bersifat vertikal inilah yang paling banyak menjadi sumberkonflik dalam masyarakat sekarang ini yang dapat mengganggu kestabilan sistem sosial masyarakat Indonesia.
BAB IV
STRUKTUR KEPARTAIAN SEBAGAI PERWUJUDAN
STRUKTUR SOSIAL INDONESIA



Kemajemukan masyarakat Indonesia yang melahirkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, regional, dan pelapisan sosial dari kesemua itu dapat kita pandanng bagai satu kebulatan yang komplek serta menjadi dasar bagi terjadinya pengelompokan masyarakat Indonesia. Dari keterkaitan jalinan yang terjadi antara perbedaan tersebut akan menghasilkan berbagai golongan yang menjadi sumber kelompok kepentingan. Apabila penggolongan masyarakat Indonesia berdasarkan perbedaan suku bangsa secara sederhana membedakan jawa dan luar jawa, penggolongan berdasarkan perbedaaan agama membedakan golongan islam santri , islam non santri, dan kristen, penggolongan berdasarkan perbedaan regional membedakan Jawa dan luar Jawa dan penggolongan berdasarkan sistem pelapisan sosial membedakan golongan kiyai dan wong cilik yang menurut simplifikasi Edward Shils dapat disederhanakan menjadi kota dan desa semua itu menghasilkan penggolongan masyarakat Indonesia kedalam 12 golongan sebagaimana tergambar pada diagram berikut :

DIAGRAM PENGGOLONGAN MASYARAKAT INDONESIA BERDASARKAN PERBEDAAN SUKU, BANGSA ,  AGAMA , DAERAH DAN SISTEM PELAPISAN SOSIAL

Suku Bangsa Daerah


ISLAM-SANTRI

ISLAM NON SANTRI

KRISTEN



JAWA
NON-JAWA
KOTA
(W.cilik)

1
DESA
(Priyayi)

2
DESA
(W.cilik)

3
KOTA
(Priyayi)

4
KOTA
(Priyayi)

5
DESA
(W.cilik)

6
7
8
9
10
11
12

Pengelompokan masyarakat mengkibatkan pola hubungan masyarakat Indonesia didalam hubungan–hubungan politik, ekonomi, hukum, kekeluargaan, dll. Uraian berikut hanya memudahkan kita memahami, salah satu contoh perwujudan didalam kehidupan politik.
Kondisi setelah kemerdekaan pada permulaan abad ke-20 banyak terbentuk kelompok kepentingan  yang masing-masing menagmbil anggotanya dari kelompok semu (terwujud dalam petak bernomor) salah satu kelompok kepentingan yang khusus sifatnya adalah partai politik pada awal tumbuhnya Indonesia kelompok kepentingan masih bersifat sosial kultural pada saat itu pemerintahan Negara Indonesia masih mengalami krisis di bidang politik dengan adanya krisis politik terebut maka muncullah berbagai partai politik. Partai pollitik yang terkenal pada saat itu adalah Masyumi (Majelis Suro Muslimin Indonesia), PNI (Partai Nasionil Indonesia dan partai NU (Nahdatul Ulamah). Masyumi pada permulaan revolusi oraganisasi masa tersebut mengubah dirinya menjadi partai politik yang berdiri dengan basic keagamaan dari aliran Muhammaddiah dan NU. Dalam perkembangannya masyumi sering mengalami pertentangan pertentangan internal karena perbedaan latar belakang sosisl kltural diantara para pendukung Muhammadiah dan NU. Kebanyakan anggota Muhammadiah adalah pendukung gerakan modrnisasi islam namun sebaliknya para anggota NU berasal dari daerah pedesaan di pulau jawa dengan kepercayaan yang dipengaruhi oleh kepercayaan yang berasal dari agama hindu dan kepercayaan kejawen. Konflik yang semakain memuncak ditubuh internal partai masyumi membuat NU keluar dari partai tersebut. Apabila kita perhatikankembali diagram  diatas maka  uraian tersebut menunujukan masa masyumi berasal  dari petak 7 dan 8 , sementara pendukuung NU berasal dari petak 2.
            Kita coba mengambil contoh lain dari partai yang pernah menempati posisi yang sangat penting di dalam kehidupan politik bangsa Indonesia pada masa silam yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia) yang pada tahun 1955 merupakan partai yang paling besar. Berdirinya partai ini pada tahun 1927 , PNI banyak memperoleh dukungan dari golongan elit birokrasi yang kebanyakan berasal dari golongan elit tradisional jawa yang berpendidikan. PNI mempunyai ideologi yang membela kaum Marhaen dan Vigure kuat bung Karno sebagai  bapak Marhaenisme dengan demikian PNI dengan mudah memperoleh dukungan dari  lapisan bawah masyarakat jawa. Mereka kebanyakan berasal dari golongan islam nominal yang sangat hormat kepada pimpinan  birokrasi . PNI juga dilandasi oleh kepercayaan yang banyak terkandung animisme dan hinnduisme  yang menyebabkan mereka tidak menyukai partai islam. PNI memperoleh masa pendukung dari petak 3 dan 4 dari diagram diatas kekalahan yang sangat dramatis terjadi pada pemilu tahun 1971 yang menunjukan kekuatan PNI berada pada golongan elit dalam birokrasi.
Banyak partai-partai di Indonesia yang pemimpinnya berasal dari lapisan bawah, contoh diatas adalah bagian kecil dari pertain-partai yang pernah ada di Indonesia , dengan begitu kita akan lebih mudah darimanakah suatu partai politik berasal, dan apa yang mempengaruhi berdirinaya partai politik Semua yang kita bahas mulai bab satu sampai dengan bab 4 adalah satu kesatuan proses terjadinya system sosial yang terjadi di Negara Indonesia. Melihat struktur politik diatas kita lebih mengerti bagaimana permasalahan dari kemajemukan  masyarakat Indonesia yang menimbulkan perbedaan antara satu sama lain yang akhirnya membentuk suatu golongan yang nantinya golongan tersebut menjadi bagian dari kelompok kepentingan dengan mempunyai beberapa kesamaan nilai yang dianut, kelompok-kelompok tersebut akan menjadi sebuah partai politik yang mempunyai pendukung dimana pendukung tersebut mempunyai kesamaan nilai dengan kelompok tersebut dan memperjuangkan nilai-nilai dalam partai tersebut.
Melihat struktur politik yang demikian kita menjadi tahu betapa konflik-konflik  antara partai politik di Indonesia pada masa silam , pada dasarnya merupakan konflik antar kelompok sosial cultural berdasarkan perbedaan–perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan sratifikasi sosial. Tentu saja tidak dapat disangkal didalam hubunganya berbagai partai politik yang ada di Indonesia satu sama lain jauh lebih kompleks daripada sekedar bersumber didalam perbedaan –perbedaan suku bangsa, agama, daerah dan stratifikasi sosial. Kompleksitas itulah yang telah membuka kemungkinan timbulnya berbagai cara melihat pola kepartaian dan prilaku politik yang diwujudkan oleh berbagai partai politik di Indonesia Herbert Feith melihat konflik politik di Indonesia sebagai konflik ideologi yang bersumber didalam ketegangan-ketegangan yang terjadi antara pandangan dunia tradisional (tradisi hindu jawa dan islam) di satu pihak, dengan pandangan dunia modern (khususnya pandangan dunia barat) di lain pihak. Konflik yang terjadi karena ideologis didalam masyarakat Indonesia memiliki 5 buah aliran politik yakni : nasionalisme, radikal , tradisionalisme  jawa, islam sosialisme demokrat dan komunisme. Donald Hindly melihat keragaman pola kepartaian Indonesia sebagai sumber di dalam dua macam penggolongan masyarakat Indonesia yang bersifat silang-menyilang yakni penggolongan yang bersifat keagamaan disatu pihak dan penggolongan atas penganut pandangan dunia tradisional dan penganut pandangan dunia modern di lain pihak. Semua penggolongan-penggolongan yang dipandang oleh beberapa ahli merupakan wujud dari kemajukan masyarakat Indonesia yang memang menpunya keberagaman dalam segala aspek. Perubahan fungsi sosial cultural yang mempengarihi system sosial Indonesia juga dapat berdampak kepada perubahan pola kepartaian indonesaia. Tidak berjalannya sebuah partai di pengaruhi oleh elemen-elemen dasar pembentuk partai tersebut yang semua itu adalah, suku bangsa, agama, daerah dan stratifikasi sosial dalam partai tersebut. Maka elemen-elemen itulah yang harus dijaga agar perpecahan dalam partai tidak mengalami klimaks yang akan berbuah kehancuran partai tersebut. Sebaliknya majuanya sebuah partai pokliti juga di perngaruhi elemen-elemen yang tersebut diatas. Begitu banyak kajian yang diberikan oleh Dr. Nasikun yang semua itu berguna untuk memahami secara mendalam tentang keberagaman dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Dengan keberagama struktur kepartaian yang semua itu adalah bagian dari elemen-elemen yang menimbulkan perbedaan dijadikan suatu wadah formal yang disebut dengn partai politik yang yang didalamnya terdapat persamaan suku bangsa, agama, daerah dan pelapisan sosial yang membuat pertentangan dalam berbagai kelompok politik dalam memperoleh kekuasaan, pertentangan-pertentangan itu pun semakin komplek dengan adanya factor-faktor yang menimlbulkan perbedaan. Bertolak dari pada itu masyarakat dengan adanya dan munculnya partai politik menjadi lebih dewasa mereka mulai memikirkan bagai mana hidup bersama dalam kesejahtraan walaupun hanya sebatas kelompok.
Perwujudan struktur dalam partai politik yang akhirnya mengakar dalam diri masyarakat yang lambat laun akan menjadi struktur sosial masyarakat Indonesia yang jahu lebih kompek dalam satu kesatuan Negara bukan dalam kepentingan saja. Tetapi mereka mulai memikirkan bagai mana pengintegrasian dalam sekala nasional, seperti dalam lembaga parlementer terdapat perwakilan orang dari parpol yang besasal dari suku ambon  bertemu dengan paerwakilan parpol lain dari suku jawa yang di dalm pekerjaanya mereka mempunyai tugas yang sama, disinilah terjadi proses peleburan perbedaan yang mendasari mereka. Pada akhirnaya  akan menjadi sebuah struktur sosial Indonesia yang akan dijalankan oleh semua masyarakat Indonesaia.


BAB V
STRUKTUR MASYARAKAT INDONESIA
DAN MASALAH INTREGASI NASIONAL



Struktur yang ada dalam masyarakat Indonesia akan menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia dapat terintegrasi pada skala internasional. Pluralisme yang bersifat horizontal dan vertikal harus dapat diintregasikan menjadi satu kesaatuan yang utuh dalam bab 1 sampai bab 4 semua menguraikan tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Coba kita kembali pada pandangan dasar tentang fungsional structural dalam memandang system sosial maka factor yang mengintregasikan masyarakat Indonesia akan nilai-nilai umum tertentu. Mengikuti pandangan Parsons maka kelangsungan hidup masyarakat Indonesia tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu yang di sepakati bersama oleh sebagian besar orang Indonesia akan tetapi lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus pula mereka hayati benar melalui proses sosialisasi. Menurut pendekatan konflik cara untuk mengintregasikan kemajemukan masyarakat Indonesia dengan menumbuhkan nilai-nilai perdamaian dan persaudaraan yang dianut oleh setiap kelompok kepentingan walaupun sering terjadi konflik antara kelompok kepentingan satu dengan yang lain, bukan menghilangkan konflik tetapi bagaimana meminimalisir konflik dalam perbedaan yang ada. Indikasi yang bisa disepakati oleh para ahli ilmu-ilmu sosial untuk menilai intensitas pertentangan-pertentangan politik dalam satu masyarakat yang dikemukakan oleh Charles Lewis Taylor dan Michael C. Hudson, terdapat beberapa indicator yang  pertama adalah demonstrasi yang dimaksud disini adalah sejumlah orang yang dengan tidak menggunakan kekerasan mengorganisir diri untuk melakukan protes terhadap suatu rezim, pemerintah, pimpinan dan ideologi. Indikator yang kedua adalah kerusuhan, yang dimaksud disini adalah sejumlah orang yang dengan menggunakan kekerasan mengorganisir diri untuk melakukan protes terhadap suatu rezim, pemerintah dan ideologi biasanya dengan diikuti pengrusakan barang-barang dan pembunuhan. Indikator yang ketiga adalah serangan bersenjata (armed attack) yakni suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suatu kelompok tertentu dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kelompok lain. Indikator yang keempat adlah jumlah kematian akibat kekerasan politik seemua itu diakibatkan oleh serangan senjata kerusuhan dan pertentangan politik yang bersifat anarki. Indikator yang menyebabkan protes-protes politik menuntut perubahan pemindahan kekuasaan eksekutif yang bersifat regular dan ireguler.
Pemindahan kekuasaan yang bersifat reguler adalah suatu pemindahan kekuasaan eksekutif  pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa yang lain melalui cara-cara bersifat legal-konvensional atu melalui prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan tanpa disertai dengan kekerasan fisik yang nyata  dan langsung. Pemindahan kekuasaan yang bersifat ireguler adalah susatu peristiwa pemindahan kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suaatu pimpinan atau kelompok .penguasa kepada pimpinan atau kelompok penguasa lain melalui cara-cara yang tidak legal. Dari semua indicator tersebut merupakan protes politik dan perubahan-perubahan eksekutif.
Sebenarnya yang kita bahas pada bab 5 merupakan serangkaian penjabaran apa yang telah diungkap pad bab 2 dan bab tiga yang akhirnya kembali pada kesimpulan untuk tidak memperlakukan kedua macam pendekatan yang sering kali kita sebutkan yakni pendekatan fungsionalisme structural dan pendekatan konflik secara sepihak.Sifat majemuk masyarakat Indonesia secara horizontal dan vertical menyebabkan timbulnya berbagai macam konflik-konflik sosial yang sedikit banyak bersifat vicious circle , dan oleh sebab itu mendorong tumbuhnya landasan coercion. Dilain pihak proses intregasi tersebut juga terjadi diatas landasan konsensus bangsa Indonesia mengenai nilai-nilai fundamental tertentu. Kelahiran bangsa indoneseia menunjukan betapa nasionalisme pancasila sebagai ideologi bangsa yang menjadi daya sepiritual dan realisme yang sejak awal mempersatukan bangsa Indonesia. Pncasiala sebagai ideologi bangsa sangat berpenggaruh dalam mengitegrasikan bangsa secara dasar karena nilai-nilai yang terkandung didalam pancasila adalah nilai-nilai yang digali dari bumi pertiwi, yang semua itu menjadi latar belakang kehidipan setiap masyarakat Indonesia. Konflik yang terjadi pada saat sekarang tidak separah pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Konflik yang kita jumpai dalam kehidupan masyarakat setelah masa revolusi adalah konflik antar golongan yang bersifat silang-menyilang (cross-cutting). Pada masa penjajahan, konflik yang sering adalah konflik yang bersifat horizontal antara golongan-golongan yang memiliki latar belakang ras dan agama yang berbeda, sekaligus merupan konflik yang bersifat vertical antara golongan Eropa sebagai lapisan atas, golongan Tionghoa sebagai golongan menengah dan golongan Pribumi sebagai golongan bawah. Pada saat itu dari perbedaan secara horizontal bertemu secara vertical yang menyebabkan terjadinya konflik yang semakin menajam dalam masyarakat pada saat itu. Didalam situasi yang demikian coercion memang merupakan satu-satunya factor yang berfungsi mengintegrasikan masyarakat masyarakat Indonesia pada saat itu. Furnivall menggambarkan dalam sebuah analogianya yaitu masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Hindia- Belanda laksana suatu konfederasi  antara sejumlah Negara, yang dipersatukan oleh suatu perjanjian atau di dalam batas-batas suatu konstitusi semata-mata demi tujuan-tujuan tetentu, akan tetapi yang tidak dapat disebut sebagai suatu union , oleh karena ituyang tidak ada dalam perjanjian tersebut, golongan-golongan tersebut hidup sendiri-sendiri didalam suatu bagian yang terpisah satu sama lain.
Revolusi kemerdekaan membawah konflik antar golongan tidak bersifat horizontal dan vertical lagi. Masyarakat sekarrang mulai mngerti dan memehami perbedaan yang sedang dialami mereka dan dalam perbedaan agama, suku bangsa, daerah dan pelapisan sosial tidak begitu mereka persoalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Perbedaan yang mereka alami dalam kehidupan bermasyarakat yang di pengaruhi oleh perbedaan suku bangsa melebur dengan adanya persamaan pemeeluk agama, contohnya seperti seorang yang dari  suku ambon, dari suku jawa brtemu dalam satu geraja. Dengan kata lain perbedaan suku bangsa, agama, daerah dan pelapisan soaial dalam masyarakat saling silang menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat siolang-menyilang pula. Dengan adanya percampuran perbedaan yang kedalam suatu lingkup yang mempertemukan mereka dalam satu kepentingan akan membuat setiap masyarakat tidak menngalammi konflik yang terlalu tajam yang dapat menimbulkan perpecahan yang berdampak luas. Misalnya konflik suku bangsa akan diredusir oleh bertemunya loyalitas beragama, daerah, dan pelapisan sosial dari para anggota suku bangsa yang terlibat didalam pertentangan tersebut. Demikian juga sebaliknya konflik dalam kehidupan pelapisan sosial akan dapat diatasi dengan apabila dalam suatu pelapisan sosial yang berbeda antara sikaya dan simiskin dapat saling berloyalitas dalam dalam tempat ibadah yang disitu perbedaan kedudukan akan melebur dengan adanya nilai-nilai yang dianut bersama dalam agama tesebut. Begitu pula dengan konflik antar daerah dan agama.
Pada hakekatnya perbedaan karena adanya kemajemukan yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia akan dapat terintegrasi dalam suatu kesatuan lingkup perbedaan itu pula yang dapat menyatukan perbedaan secara horizontal dan vertikal akan melebur oleh nilai-nilai dalam ruang linggkup yang menjadi perbedaan tersebut. Betapa kita harus bersukur dengan keunika yang ada yang dimiliki banmgsa Indonesia membuat kita semakin dapat mengerti apa system sosial dari bangsa Indonesia yang justru dari berbagai macam perbedaan kita dapat menggunaka perbedaan tersebut sebagai cara untuk melakukan proses integrasi secara masal.
Bersama dengan tumbuhnaya consensus nasional mengenai nilai-nilai Nasionalisme Pancasila yang senantiasa bertanggapan secara dinamis denganmekanisme pebgendalian konflik-konflik yang bersifat coercive, secara tidak langsung masyarakat Indonesia akan bersifat silang-menyilang  itu telah menjadi landasan mengapa tetap dapat lestari dari masa ke masa, walaupun mereka harus menghadapi glombang pertentangan yang semakin hari semakin beragam dan tajam. Semua itu yang medasari terjadianya struktur sosial yang ada pada masyarakat Indonesia. kalau kita telaah lebih lanjut, sebenarnaya kita dapat mengambil kesimpulan yang cukup ringkas tentang apa yang menyrbabkan terjadinya system sosial yang ada di Indonesia, ternyata disitu apabila dipandang secara teoritis dengan penndekatan fungsionalisme dan vertikal, sebenarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Kemajemukan sendiri juga mempunyai sifat yaitu sifat horizontal dan vertikal yang mana sifat horizontal itu adalah kesatuan dari dua pendekatan fungsional struktural dan pendekatan konflik yang melahirkan kelompok kepentingan, sedangkan yang bersifat vertikal yaitu tentang pelapisan sosial atau stratifikasi sosial yang terjadi dalam bidang ekonomi adanya masyarakat modern dan masyarakat tradisional, yang didalam kehidupan pada masa setelah revormasi kelompok-kelmpok kepentingan dalam suatu masyarakat mulai bersifat politik yang akhirnya menjelma menjadi partai politik yang mempunyai nilai-nilai dari latar belakang kehidupan mereka. Semua itu digunakan untuk bagaimana memiliki kekuasaan dalam bangsa Indonesia, sebenarnya dari struk tur kepartaian kita akan lebih mengetahui lebih komplek tentang struktur sosial. Dan struktur masyarakat Indonesia merupakan gabungan dari semua struktul sosial yang akan dapat mewujudkan pengintegrasian secara nasional.

2 Comments