BLATEN DITANAH BANGKALAN

Olhe : Rizki Al Kharim

Masih tergambar jelas saat itu, ketika saya mendapatkan tugas oleh ketua panitia PLK Antropologi (Praktek Luar Kelas) sebagai panitia yang mempunyai job disk mengurus masalah perijinan. Dalam tugas PLK mata kuliah Atrapologi, Madura adalah pilihan yang tepat. Saya pun mendapatkan tugas untuk barangkat ke Madura lebih dahulu untuk menyelesaikan perijinan. Saya meminta tolong teman saya Deni yang memang asli orang Madura untuk mengantarka saya pergi ke Bakesbang dan Kecamatan Bangkalan untuk mengurus perijianan. Ketika saya telah menyelesaikan perijinan di bakesabang kita diminta pihak bakesbang untuk meminta tembusan ke Kecamatan Bangkalan. Dalam perjalanan saya mengobrol dengan teman saya Deni. Lampu merah pun menghentikan laju motor kami. Tak sengaja saya melihat seseorang mengendarai motor tanpa memakai helm, orang tersebut hanya memakai peci hitam yang agak tinggi (balaten) sebutan orang Madura itu adalah blaten, Saya sedikit terpaku melihat kejadian itu. Saya melihat hanya orang itu yang tak mengenakan helm. Padalah jelas berdiri di persimpangan jalan Pos Polisi, ada polisi yang berjaga disana dan jalan tersebut bukanlah jalan desa yang bayak pengemudi motor seenaknya sendiri tak memakai helm, tapi jalan itu adalah jalan Kecamatan Kota, pas di depan juga ada kantor Kecamat Bangkalan. Hati kecil saya sedikit protes dengan ulah orang tersebut saya pun mencoba berbicara dengan teman saya yang asli orang Madura Bangkalan. Saya mencoba menyalahkan perbuatan orang tersebut dengan argument yang memang sudah terdogma peraturan lalu lintas yang ada di kota asal saya Surabaya. Setelah saya coba protes perbuatan yang tak adil tersebut, akhirnya teman saya angkat suara, dia coba menjelaskan kepada saya ternyata kebudayaan orang Madura beda dengan kebudayaan orang Surabaya, di adat orang Madura orang yang memakai peci warna hitam yang agak tinggi adalah salah satu orang yang di hormati dan di segani, kata teman saya tidak ada orang yang benari dengannya katanya dia adalah seorang pemangku adat. Pintu pemahaman saya mulai terbuka ternyata yang saya katakan adalah perbuatan salah tersebut menjadi suatu pembenaran tersendiri terhadap tradisi Madura. Suatu pengetahuan untuk saya ketika sebuah komunikasi yang salah lakukan ternyata merupakan penyimbulan makna secara subjektif dari saya tanpa saya memahami adat dan kebudayaan dimana ketika saya memberi makna symbol tersebut ternyata symbol tersebut memang telah di beri makna oleh tradisi yang ada walaupun kadang pemberian makna secara terbalik dengan pemaknaan pada umumnnya.
Dapat disimpulkan dari cerita diatas bahwa pada intinya Komunikasi Merupakan Suatu Proses Simbolik dimana keLambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang.Perilaku komunikasi merupakan suatu paket penggunaan lambang-lambang baik berupa lambang verbal maupun non-verbal atau kombinasi keduanya. Ketika kita berbeda pemaknaan symbol tersebut maka dalam komunikasi kita akan terjadi salah paham yang akan mengakibatkan tujuan komunikasi tak akan tercapai.

0 Comments